oleh

Sidang Gugatan Kabut Asap di Palembang, 3 Perusahaan Dihadapkan pada Pembuktian Dampak Karhutla

SUMSELKITA.COM, Palembang- Sidang gugatan warga Sumatera Selatan terhadap tiga perusahaan kehutanan besar terkait kasus kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan gambut terus berlanjut. Pada Kamis (24/4/2025), babak pembuktian kembali digelar di Pengadilan Negeri Palembang dengan menghadirkan seorang ahli dari pihak tergugat.

Sidang dipimpin oleh hakim ketua Oloan Exodus Hutabarat, SH, MH, dengan agenda pemeriksaan lanjutan atas gugatan yang diajukan oleh sebelas warga Sumsel. Mereka menggugat tiga perusahaan di Sumsel diduga jadi biang keladi penyebab karhutla.

Gugatan ini berfokus pada dampak kebakaran hutan dan lahan gambut di kawasan Kesatuan Hidrologis Gambut Sungai Sugihan–Sungai Lumpur (KHG SSSL), yang diketahui memiliki tingkat kebakaran tertinggi selama dua dekade terakhir. Dalam periode 2001–2020, sebanyak 473 ribu hektare lahan terbakar di dalam konsesi ketiga perusahaan tersebut, mencakup 92 persen dari total area terbakar di KHG SSSL.

Tiga Guru Besar Dihadirkan Penggugat

Dalam sidang sebelumnya pada 10 April 2025, pihak penggugat telah menghadirkan tiga ahli terkemuka:

Prof. Dr. Azwar Maas, guru besar ilmu tanah dari UGM

Prof. Andri Gunawan Wibisana, guru besar hukum lingkungan dari UI

Prof. Iman Prihandono, dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, ahli HAM dan bisnis

Prof. Azwar menjelaskan bahwa lahan gambut secara alami menyukai air (hydrophilic) dan tidak akan kering tanpa intervensi manusia. Namun, pembangunan kanal-kanal di area konsesi telah mengeringkan lahan gambut dan mengubah sifat tanah menjadi hydrophobic, yang sangat mudah terbakar.

“Kondisi gambut yang berubah menjadi takut air membuatnya sangat rentan terbakar. Jika terbakar, api sulit dipadamkan karena merambat di bawah permukaan dan meluas secara masif,” jelas Azwar dalam keterangannya.

Hal ini diperkuat oleh pendapat Prof. Andri Gunawan, yang menyatakan bahwa kegiatan pengeringan gambut melalui kanal merupakan bentuk “dangerous activity”—aktivitas berisiko tinggi yang tunduk pada prinsip strict liability. Berdasarkan Pasal 88 UU Nomor 32 Tahun 2009 dan Perma Nomor 1 Tahun 2023, pelaku usaha wajib bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan meskipun telah berupaya hati-hati.

“Karena termasuk aktivitas berisiko tinggi, perusahaan tetap bisa dimintai pertanggungjawaban mutlak jika menimbulkan kerusakan lingkungan, seperti kebakaran hutan,” terang Andri.

Sementara itu, Prof. Iman Prihandono menyoroti dimensi pelanggaran hak asasi manusia. Ia menegaskan bahwa berdasarkan United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs), perusahaan memiliki kewajiban menghormati hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

“Legalitas usaha bukan pembenaran atas praktik yang secara sistematis merugikan masyarakat. Kabut asap telah merenggut hak masyarakat atas udara bersih,” tegasnya.

Penggugat Tegaskan Tanggung Jawab Mutlak Perusahaan

Tim kuasa hukum penggugat, Sekar Banjaran Aji, menegaskan bahwa gugatan ini bertujuan mengungkap praktik korporasi yang secara sistematis merusak ekosistem gambut dan menyebabkan bencana kabut asap berulang.

“Kami menyoroti dampak berkelanjutan dari karhutla di area konsesi perusahaan-perusahaan ini. Pembukaan kanal dan pengeringan gambut merupakan akar dari kebakaran yang menyebabkan kabut asap. Ini bukan hanya pelanggaran hukum lingkungan, tapi juga hak asasi manusia,” ujarnya.

Sekar juga menyatakan bahwa kesaksian para ahli semakin menguatkan argumen bahwa tiga perusahaan tergugat harus bertanggung jawab secara mutlak atas kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan.

Sidang akan kembali dilanjutkan dalam waktu dekat dengan menghadirkan saksi dan ahli tambahan dari kedua belah pihak. Proses pembuktian diperkirakan akan terus berlangsung hingga semua elemen gugatan dapat diuji di hadapan majelis hakim.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed